Sabtu, 26 Maret 2011

Siapa Namamu, Nona?

Realita Kampuz, 13 Januari 2010
Semua terasa hampa dan sirna ketika hati dan mulut tak saling padu dalam mengutarakan suara hati. Semua orang tahu akan hal itu, termasuk diriku. Berbicara tentang hati dan mulut, ada benarnya kata orang bahwa mulut bisa berbohong tapi hati takan pernah membisikan kata bohong. Mungkin itulah yang sering aku dengar ketika melihat dan membayangkan dirinya. Seringkali mulutku ini mengatakan “ahh.., kau tidak punya keberanian, sudahlah dan menjauh darinya”, tapi disaat yang sama hati selalu menggebu-gebu dan berkata “dari pada penasaran, mending kenalan dulu”, aihh aku bingung, itu suara hati atau suara setan.
Pernah di suatu permulaan waktu aku melihat ia berjalan sendiri di depan taman fakultas, dengan jilbab orange yang melengkung di kepala. Ia terlihat sedikit terbata dalam berjalan, mungkin disebabkan oleh rok coklat mudanya yang terlalu sempit memberikan ruang gerak. Ia terus berjalan menulusuri branda-branda kampus. Diwaktu yang sama, aku berjalan menaiki anak tangga fakultas dan sebentar lagi, bentar, emm bentar, nah ini dia, disaat yang tepat dan engel yang yang sempurna, semua itu terlihat begitu mengagumkan, mata ini pasif bagaikan mata elang yang siap mencengkram mangsa, tajam dan fokus. Sikap badan pun statis tak ingin beranjak walaupun satu mili. Kali ini aku telah melihat sesosok bidadari dunia berjalan diatas atlar fakultas. Aku telah melihat bagimana sebuah aura terpancar dari seorang bidadari dunia. Dan aku telah merasakan begitu pasif dan statisnya semua organ tubuh ketika melihat ia berjalan.
Pantaslah apa yang pernah diucapkan oleh Bapa Ranchorda Syamalda Chancard “ketika kau memandanginya, apakah kau merasakan angin berhenti berdesir? Atau bumi berhenti berputar? Atau lagi gunung-gunung mengeluarkan semerbak harumnya pepohonan? Jika kau merasakaanya maka ungkapkanlah hal itu dengan bijak”. Aku bisa merasakanya, aku bisa menggambarkan sebuah khayalan yang mengarah ke dunia abstrak.
Tapi, semua itu terasa hampa dan percuma, karena hanya berani dalam lingkaran hati semata, selalu begitu dan entah sampai kapan harus begitu. Sungguh aku muak dengan semua ini, muak dengan diriku dan terlebih lagi muak dengan bayangan penakut yang selalu memutus spirit dalam tubuh. Disuatu waktu, ingin rasanya aku membuang secara paksa bayangan ini, tapi semakin aku berusaha, semakin kuat ia mencengkram tubuh. Aku merasakan bayangan ini bagaikan virus yang mematikan semua aliran pembuluh darah sehingga jumlah darah yang menyirami hati menjadi berkurang dan kacaulah semua organ yang ada di tubuhku. Kasihan.
Bayangan penakut itu telah menimbulkan sebuah kerisauan dalam jiwa. Jiwa ini seakan memberontak ketika keinginanya ditindas dengan sengaja, tapi disisi lain bagian terkecil dari hati menyerukan sikap bijaksana yang cendrung memerintahkan untuk tenang. Terkadang badan ini terasa leleh memikul beban yang tak jelas ujung pangkalnya, yang tak jelas jalan ceritanya, dan tak jelas semua tentang dirinya.
Jika ketakutan sudah separah ini, jalan apa yang harus aku tempuh agar mulut dan hati ini bersatu untuk sekedar mengucapkan “hei nona, siapa namamu?”.
Hakekatnya, disaat butiran-butiran embun yang turun satu per satu membasahi bumi para wali, saat itu juga aku selalu mendengar dengan samar suara rintihan hati yang mengadu kepada tuhanya “Tuhan, beri aku kekuatan untuk mendengar namanya?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar