Yogyakarta, 12-04-11
Dirahim langit berjuta bintang, benderang kerlap kerlip menghiasi angkasa hati yang paling dasar, cahayanya timbul tenggelam bak lumba-lumba yang berlomba unjuk kebolehan di tengah lautan. Aku merasakan sebuah kelapangan di palung hati, rasa yang dulu lama telah hilang, tepatnya tiga tahun yang lalu. Sekarang, ia seakan diberi kembali sebuah anugrah dari penciptanya berupa nutrisi hati yang baru dua minggu ini terasa.
Sore ditanggal itu, aku berjalan sendiri melintasi koridor lantai empat, sunyi sepi menemani ayunan langkah yang kecil namun pasti. Diujung jalan, terlihat pintu kaca perpustakaan tertutup rapat dan itu berarti aku harus masuk melalui pintu dilantai satu. Aku segera turun kelantai tiga terus kedua dan berakhir di depan anak-anak manusia yang lagi asyik membaca koran disudut tangga bawah.
Aku meraba-raba handphone nexian yang terletak disaku jeans sebelah kanan, menggambilnya dan segera mengetik beberapa karakter huruf kemudian mengirimnya kepada teman yang sekarang lagi asyik belajar dilantai tiga fakultas.
“uda diperpus lantai empat, entar kalo mau nemui uda, langsung naik aja” seingatku itulah sms yang dikirim ke handphone nya
“Oke uda” balasan sms yang berselang beberapa saat
Sore ini aku berencana untuk merombak kembali judul proposal yang rancu. Kenapa bisa rancu? Aku akan bercerita dan memutar ulang kejadian tiga jam sebelum ini.
Siang ditanggal itu, aku sudah ada janjian denganya untuk makan siang bareng dikos, tapi setelah keluar dari kelas, salah seorang teman mengatakan bahwa pembimbingku sekarang sedang duduk diruanganya. Tanpa pikir panjang (memikirkan janji awal) aku langsung tancap gas menuju ruangan sekjur. Aku langsung berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi
“ibu kemana aja bu, uda dua minggu lo tak cariin” godaku sambil menggeluarkan map merah yang berisi syarat pengajuan judul.
“lho, kan udah ibu bilang, kalo mau bimbingan ibunya di sms aja”
“sudah saya sms koq bu, tapi ibunya malah menjawab ibu tiap hari ada diruangan dari jam 08.00 sampai 16.00, tapi tak tunggu tiap hari, malah ibunya gak nonggol-nonggol”
“iya betul ibu dari jam itu ada diruangan, tapi ruangan ibu kan banyak, ada di soshum, di CENDI, di MD”
“yaudah sekarang ibu disini, ihsan mau apa?”
Aku membuka map merah dan mengeluarkan abstrak yang sebelumnya telah di ACC oleh dosen pembimbing akademik.
“coba jelaskan” bilang dosen kepadaku
“ini bu baganya” aku mengeluarkanya dari map merah sembari menunjuk nunjuk lingkarapn bagan
“saya akan menjelaskanya dalam bentuk bagan bu””
“Ya, silahkan”
Aku menjelaskan semua isi penelitian kepada dosen bla..bla...blaa n blaa..blaaa.. panjang sekali. Dan dosenya hanya berkata seperti ini
“konsep pengembangan sumber daya manusia, sebenarnya ini adalah salah satu penemuanmu, kamu bisa menyederhanakan dua buah konsep menjadi satu dan bisa sempurna lagi untuk tahap penggembangan sumber daya manusia, sekerang begini bla..bla...blaa n blaa..blaaa.. (panjang guys, jadi tak usah dimuat ya)”
Pertemuan hari itu sungguh sangat berantakan, aku berdiri dari bangku panas itu dan keluar sambil mengacak-acak tatanan rambut belakangku (begitulah aku ketika lagi stres, rambut belakang menjadi pelampiasanya). Aku langsung menuju taman fakultas dan duduk didepannya
“ada apa uda, koq kusut sekali” ia bertanya kepadaku
“hancur non, judulnya harus diulang kembali”.
Kira-kira begitulah kejadian yang aku alami sekitar tiga jam yang lalu, dan sekarang aku harus kembali ke perpustakaan untuk menyari buku-buku yang membahas masalah pengembangan SDM dalam perspektif kristen.
Aku duduk didepan mesin OPAC (mesin yang disediakan untuk melacak buku-buku yang hendak dicari) handphone kembali berbunyi “aku udah dilantai empat uda, uda disebelah mana?”, aku tak membalas karena ia telah berdiri dibelakangku. Aku melambaikan tangan sembari berkata “ ambil satu meja disana, dan tunggu uda dimeja itu”.
Hati yang awalnya gusar, seketika berubah menjadi mawar yang siap untuk dijual. Itu yang aku rasakan ketika melihat wajahnya. Aihh anggun kali paras wajahmu nona, aku berjalan mendekati meja yang ia pilih “jangan disini non, kita disebelah sana aja” jelasku sambil menarik kursi. Ia hanya tersenyum dan detik detik itu rasa penat diotakku mulai terkikis oleh bongkahan senyum yang terlukis indah di bibirnya. Ingin rasanya aku menggulangi saat-saat seperti ini, tepatnya sore ini dimana kesunyian menjadi teman terbaik kami berdua, kami bercanda ria, menertawakan sesuatu yang sebenarnya gak terlalu penting untuk ditertawakan, berbicara semau hati, curhat tentang masa kecil kami yang dianggap lucu dan gokil. Ada satu curhatan yang membuatku prihatin, mungkin sampai detik ini. Dahulu diusia kecilnya, ia bercerita tentang kesulitanya dalam berkomunikasi dengan orang lain, hingga suatu saat karena saking sulitnya berbicara, ia harus menuliskan percakapanya di dalam kertas. Kasihan
“sekarang sih udah enggak, uda” jelasnya kepadaku
Enggak? Itu katanya. Sekerang aku mencoba menganalisa kata “enggak” yang ia maksud. Sepemahamanku yang dimaksud dengan kata enggak itu adalah suatu kegiatan atau kebiasaan yang dahulunya ada dan sekarang sudah tidak ada (hilang). Akan tetapi emm sekarang begini, kita tak boleh begitu saja menggambil sebuah kesimpulan tanpa meneliti fakta sebenarnya. Aku akan menggunakan metode penelitian kualitatif dimana observasi menjadi tehnik pengumpulan data yang paling tepat. Setalah dianalisi ternyata kata enggak yang ia maksud tidak sejalan dengan fakta yang tertulis dilapangan. Aku mendapatkan sebuah hasil penelitian yang baru, dimana ketika ia berbicara (apalagi saat berjalan) emm sumpah tak sanggup mata ini melihatnya, ia seperti orang yang terkena sesak nafas stadium Maguoharjo, ehh salah maksudnya stadium bukan stadiun, stadium dua. Terkadang aku berdo’a kepada tuhan (agak kontroversi sih do’anya) “ya tuhan, ane tak tega melihatnya bermenung sendirian, tapi ane lebih tak tega lagi ketika melihatnya berbicara sambil berjalan, rasanya ingin ane menyambung nafasnya, kalo dia mau, tak sumbangkan deh 1/3 dari nafas ane, agar nantinya ia gak ngos-ngosan lagi kaya kambing mau disembelih. Semoga engkau memanjangkan setiap tarikan nafasnya. Aminn ya robb”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar